Pages

Nusantara itu omong kosong. Islam ya Islam !!!

Jumat, 31 Juli 2015

"Mas Rijal, Islam Nusantara itu omong kosong. Islam ya Islam, nggak perlu ditambah-tambahi."
"Betul, sampeyan juga harus tahu diri, nggak usah pakai istilah Islam Kaffah segala macam deh! Hehe..."
--++
Tuh kan, banyak yang mengira jika perkara Islam Nusantara adalah soal soal kain kafan mayat harus diganti batik, shalat berbahasa daerah, shalat 3 kali, pelihara tuyul, mandi kembang sebagai ganti wudlu', ganti kiblat, assalamualaikum dalam shalat diganti selamat pagi, dan asumsi-asumsi tak berdasar yang entah diperoleh dari mana...naudzubillah min dzalik, saya nggak tahu kok tiba-tiba muncul asumsi semacam ini, apalagi dikaitkan dengan proyek liberalisasi. Whelaaah...
Begini ndoro, bagi saya sederhana, Islam Nusantara dalam salah satu titik adalah
melakukan proses eskavasi arkeologi ilmu pengetahuan dengan menengok kembali, mempelajari kembali karya-karya para ulama nusantara ini di samping TETAP mengkaji karya para ulama lintas teritorial dan lintas zaman.
"Ya Allah, saya baru tahu..." adalah kalimat yang sering saya ucapkan manakala dikasih kabar soal "temuan" terbaru soal karya ulama Nusantara kita. Kemarin, saya diberi tahu oleh Mas Sewu Pengalem bahwa salah satu perpustakaan Kairo masih menyimpan kitab Bahrul Madzi syarahnya Sunan Attirmizi setebal 22 jilid yang ditulis menggunakan bahasa Jawa oleh Syaikh Muhammad Idris bin Abdurrauf Al-Marbawi, salah satu ulama Nusantara yang juga berpengaruh dalam linguistik karena beliau menulis kamus al-Marbawi (Arab-Melayu). Di kalangan pesantren, kamus ini dulu sempat populer bersama karya Mahmud Yunus, sebelum kemudian "digeser" oleh kamus Al-Munawwir. Syaikh al-Marbawi adalah orang Malaysia, berorangtua asal sumatera, dan lahir di Makkah.
Di akun Rijal Pakne Avisa (yang masih mati suri), saya pernah diberi link download Hasyiah Attarmasi karya Syaikh Mahfud Attarmasi yang belum saya sedot sampai sekarang. Belum lagi, kabarnya, ada beberapa manuskrip karya KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Abu Fadhol, Senori, Tuban; dan karya beberapa ulama kita yang belum diterbitkan. Bukankah ini harta karun, soddara-soddara? Di toko buku bekas Jl. Semarang, di salah satu kios yang dikelola Mas Erwin (Komunitas Buku Kuno) bahkan saya pernah melihat protolan Tafsir al-Qur'an berbahasa Bugis yang ditulis menggunakan aksara tradisional Bugis (jelas, saya nggak bisa baca!)
Anda orang Sunda? Sudah membaca Tafsir Al-Qur'an berbahasa Sunda karya KH. Abdul Halim, pendiri PUI?
Orang Aceh? Sudah mempelajari Tafsir Tarjuman Mustafid karya Syaikh Abdurrauf Assinkili?
Kita orang Jawa? Sudah ngaji Tafsir Ibriz? Ngaji Tafsir Marah Labid Syaikh Nawawi al-Bantani?
Kita orang mana, dan pernahkah kita mengapresiasi karya ulama setempat?
Jelas, Islam Nusantara ini 11-12 dengan tradisi akademik khas pesantren. Mengapresiasi karya ulama Nusantara sekaligus tetap mengaji karya ulama lintas zaman dan lintas teritorial. Karena itu pihak yang belum sependapat soal Islam Nusantara dan mencibir ‪#‎AyoMondok‬ biasanya juga bukan lahir dari rahim pesantren. Kalau masih curiga, silahkan lacak tulisan KH. Afifuddin Muhajir soal Islam Nusantara di mbah gugel.
Sekali lagi, benarkah ini bagian dari proyek Liberalisasi? Ah, saya nggak tertarik mendengar bunyi genderang yang ditabuh orang lain agar saya mengikuti irama mereka.

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar