Pages

Bermadzhab dalam Pandangan NU dan Muhammadiyah

Jumat, 13 Desember 2013

Pembahasan tentang bermadzhab dalam pandangan NU dan Muhammadiyah agaknya perlu untuk dipertegas. Hal ini penting mengingat pandangan tentang madzhab akan sangat memperngaruhi pengistimbatan hukum yang dilakukan oleh dua ormas tersebut. Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa NU yang mengaku berhaluan ahlus sunnah wal jamaah dalam bidang fiqih terang-terangan bermadzhab Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali. Apabila dalam suatu masalah tidak ditemukan jawaban dari empat madzhab tersebut maka baru dilakukan ijtihad.   
Di sisi lain, Muhammadiyah bersikap untuk tidak bermadzhab. Muhammadiyah menyatakan padangannya bahwa pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih yang berbunyi ―Tidak mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa Al qur'an dan As sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
Dari sana dapat dipahami bahwa Muhammadiyah memang tidak terikat kepada salah satu di antara madzhab-madzhab tertentu, akan tetapi juga bukan berarti Muhammadiyah anti dengan madzhab, kita tidak meragukan kualitas keilmuan para Imam-Imam madzhab. 

Namun, bagaimanapun juga pendapat-pendapat para imam tidaklah memiliki kebenaran secara mutlak sebagaimana kebenaran al-Qur‘an dan asSunnah ash-Shahihah. Muhammadiyah berpendapat bahwa pendapat para Imam tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi pada masa mereka hidup, yang tentunya akan terdapat perbedaan dan juga akan ada hal-hal yang kurang relevan lagi dengan masa kita sekarang. Menurut Muhammadiyah apa yang menjadi pandangannya, yakni melaksanakan agama dengan bersumber langsung pada al-Qur‘an dan as-Sunnah telah sesuai dengan sabda Rasulullah saw. Sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, 
“Aku telah meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, tidak akan tersesat kamu selama berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah RasulNya”. 
Dan juga, apa yang dikatakan oleh salah satu Imam madzhab, yaitu Imam Ahmad Bin Hanbal: “Janganlah engkau taqlid kepadaku, demikian juga kepada Imam Malik, Imam Syafii, Imam Auzai dan Imam ats-Tsauri. Namun, ambillah (ikutilah) dari mana mereka (para Imam itu) mengambil (yaitu Al-Quran dan As-Sunnah)”. 
Singkatnya, demikian di tulis dalam Tanya jawab masalah Agama di Majalah Suara Muhammadiyah, tidak mengikuti pada madzhab-madzhab tertentu bukan berarti tidak menghormati pendapat para Imam fuqaha, namun hal ini justru langkah untuk menghormati mereka karena mengikuti metode dan jalan hidup mereka serta melaksanakan pesan-pesan mereka agar tidak bertaqlid. Jadi, sebenarnya hal penting yang perlu diikuti adalah menggali pandapat itu dari sumber pengambilan mereka yaitu Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang shahih yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
Inilah perspektif, pandangan, atau pendapat. Perbedaan sangat niscaya. Jika Muhammadiyah berpendapat bahwa tidak mengikuti madzhab merupakan usaha untuk menghormati imam Fuqoha, maka NU berpandangan lain. NU tidak menganggap bahwa bermadzhab bisa diartikan dengan sepenuhya taklid. 
Pengertian taklid, menurut ormas tradisionalis ini, hendaknya jangan digambarkan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, taklid buta, atau membuta tuli tanpa ada kesempatan menggunakan akal pikiran, tanpa boleh mempelajari dalil al-Quran dan al-Hadits. Pada taraf permulaan memang demikian. Setiap pelajaran yang diberikan oleh ulama, Kiai, serta guru hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap muslim didorong dan dianjurkan untuk mempelajari dalil dan dasar pelajaran tersebut dari al-Quran dan al-Hadits.
NU berpandangan bahwa bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi'i. Jadi, menurut NU, bermadzahab juga ada tingkatan-tingkatannya. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.
NU juga sering mendasarkan pandangannya dengan dasar ittiba', yaitu mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya. Beberapa hal yang dapat dikemukakan tentang ittiba' antara lain:
1.   Usaha untuk menjadikan setiap muslim dapat melakukan ittiba' adalah sangat baik, wajib didorong dan dibantu sekuat tenaga. Namun mewajibkan ittiba' atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan ittiba'?
2.  Sebenarnya ittiba' adalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan istilah, bahwa ittiba' tidak diwajibkan, melainkan sekedar anjuran dan didorong sekuat tenaga. 

Meski NU banyak mendasarkan pandangan fiqihnya pada madzhab empat, tetapi NU juga tidak menutup pintu ijtihad. Ijtihad di sini diartikan dengan usaha keras untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal berdasar dari al-Quran dan atau hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang sharih, jelas, tegas, atau qath'i, pasti. Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan oleh agama Islam untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak ada nash sharih dan qath'i dalam al-Quran dan atau hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang paling terkenal adalah cara qiyas atau analogi dan ijma' atau kesepakatan para mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum itulah yang disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan.
Hasil ijtihad atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh orang lain. Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri yang menerima dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan yang bermadzhab adalah konsumen.
Ijtihad tidak boleh dilakukan sembarangan. Prinsip ahlus sunnah wal jamaah ini menegaskan bahwa ijtihad atau penggunaan ra'yu dalam menyimpulkan hukum agama harus disertai persyaratan yang ketat agar hasilnya tidak menyalahi assunnah wal jamaah. Persyaratan ijtihad cukup banyak, tetapi pada pokoknya adalah:
1.      Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan al-Hadits dan segala kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain.
2. Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang dapat  dipertanggungjawabkan.
3.   Semuanya dilakukan atas dasar akhlak atau mental yaitu keikhlasan mengabdi kepada Allah dalam mencari  kebenaran, bukan sekedar mencaricari argumentasi untuk membenar-benarkan kecenderungan selera dan nafsu atau kepentingan lain. 
NU memandang akan sangat sulit dan sedikit orang yang mampu melakukan ijtihad. Padahal semua orang Islam sudah harus melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah, meskipun belum mampu berijtihad. Karena itu, NU sebenarnya tidak memaksa kaumnya untuk bertaklid / bermadzhab  tetapi memberi dua alternatif:
1.      Berijtihad sendiri, yang dapat dilakukan oleh mereka yang memenuhi persyaratan. 
2.   Menerima dan mengikuti hasil ijtihad atau bermadzhab atau bertaklid, yang dapat dilakukan oleh semua orang. Kenyataan memang menunjukkan bahwa hampir semua orang Islam melakukan taklid, setidak-tidaknya pada waktu permulaan yang cukup panjang, bahkan seumur hidup karena tidak pernah mencapai kemampuan untuk berijtihad sendiri.
Kiai Nuril Huda, seorang tokoh NU, penah menulis, bagi orang awam taqlid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mempelajari agama secara mendalam. Allah SWT berfirman : 

Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS : At Taubah : 122)
Dalam ayat ini jelas Allah SWT menyuruh kita untuk mengikuti orang yang telah memperdalam agama. Dalam ayat lain secara lebih tegas Allah SWT berfirman: 

Artinya : Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (QS : An Nahl : 43)

Lalu kepada siapakah kita bertaqlid? Kita bertaqlid kepada salah satu dari madzhab empat yang telah dimaklumi oleh seluruh Ahli Ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih.
Di samping itu telah dimaklumi pula ketinggian akhlaq dan taqwa mereka yang tidak akan menyesatkan umat. Mereka adalah orang yang takut kepada Allah SWT dan telah meletakkan hukum bersumber dari Al-Qur‘an, As-Sunnah, Al-Ijma‘ dan Al-Qiyas. Namun, ketika kita boleh bertaqlid, bukan kemudian kita bertaqlid kepada sembarang orang yang belum mutawatir kemasyhurannya. Tentu taqlid semcam itu justru akan membawa kesesatan. Kita bertaqlid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlaq dan sikapnya sehari-hari, di mana fatwa mereka diyakini berasal dari Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur‘an :
Artinya : Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS : Fathir : 28)

Menurut pandangan NU, bermadzhab adalah upaya untuk menempuh jalan yang lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar al-Quran dan al-Hadits. Sedangkan taqlid buta, atau taqlid kepada sembarang orang tentu dilarang oleh agama. Bagi mereka yang ada kesempatan dan kemampuan tentu wajib mengetahui seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqaha'. Namun, untuk mencapai derajat mujtahid barangkali sulit, walaupun kemungkinan itu selalu ada. 

Referensi : Fiqh Ikhtilaf
Read more ...

Keutamaan Istighfar

Senin, 09 Desember 2013

Dijelaskan bahwa dalam suatu hadist memberitahukan kepada kita tentang keutamaan istighfar itu sendiri saat dibaca secara kontinu, maka menurut Rasulullah "Barangsiapa melanggengkan istighfar (selalu membaca istigfar atau memohon ampunan kepada Allah swt) maka Allah akan memberinya solusi (jalan keluar) atas semua kesulitannya (problematika hidupnya) setiap kesusahannya akan menjadi kebahagiaan, dan Allah swt akan memberinya rizki yang tidak di duga-duga sebelumnya"

Diceritakan / Diriwayatkan dari Wahab ibn Munabih, ada seorang diantara Bani Israil yang berkeinginan keras dapat menyingkap
Read more ...

Keutamaan Tawakkal Kepada Allah swt

Jumat, 06 Desember 2013


Banyak diantara manusia yang belum menyadari tentang begitu dahsyatnya keutamaan tawakkal kepada Allah swt, karena manusia yang hanya selalu berpikir matematis, praktis, ekonomis dan rasional.  Namun ternyata bagi sebagian orang yang dikehendaki oleh Allah swt, dan memiliki tingkat kualitas taqwa dan tawakkal yang tinggi , sesuatu yang semestinya impossible mustahil secara rasional, menjadi mungkin atas izin Allah swt. karena Allah swt lah yang maha mengatur atas segala urusan hamba-hamba-Nya

Suatu ketika, Syaikh Amin Al Kurdi (Pengarang Kitab Tanwir Al-Qulub) berkeinginan kuat untuk
Read more ...

Antara Zina dan Wabah Penyakit

Kamis, 05 Desember 2013

Para Ulama menjelaskan, bahwa Zina, prostitusi serta perselingkuhan itu dapat mendatangkan wabah penyakit, sebagai kutukan (adzab) terhadap orang-orang yang menyeleweng. Karena Allah swt berkenan menurunkan sebagian adzabnya ke dunia kepada siapa saja yang melanggar larangan-Nya. Allah swt juga akan menyempurnakan adzab itu diakhirat. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam Qs. Ar-Rum ayat 41 :


Artinya : "telah merajalela kerusakan di daratan dan lautan sebagai akibat ulah tangan (perilaku) manusia. supaya Allah swt menimpakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang lurus)." (QS. Ar-Rum (30):41)

Kebanyakan manusia tidak tahu, bahwa apa yang diperintahkan oleh Allah swt itu mendatangkan
Read more ...