Di dalam lingkungan
Nahdlatul Ulama ada yang dikenal dengan istilah Fikrah Nahdhiyah. Yang
dimaksud dengan fikrah Nahdhiyah adalah kerangka berpikir yang didasarkan pada
ajaran Ahlussunah yang dijadikan landasar berpikir Nahhaul Ulama (khithah
Nahdhiyin) untuk menenutukan arah perjuangan dalam rangka islahul ummah
(perbaikan umat).
Dalam merespon persoalan
baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdhatul
Ulama memiliki manhaj Ahlususnnah sebagai berikut:
NU menganut paham Ahlussunah Wal
Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli
(rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya AlQur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu
dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat
madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.
Ciri-ciri fikrah Nahdhiyah
adalah:
a. Fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya NU
senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan i‟tidal (moderat) dalam
menyikapi berbagai persoalan. Nahdhatul Ulama tidak tafrits atau ifrath.
b.
Fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya NU dapat
hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir,
dan budayanya berbeda.
c. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artiya NU
senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-islah
ila ma huwa al-ashlah).
d. Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya NU
senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon persoalan,
e. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis) artinya NU
senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah
ditetapkan oleh NU.
Ide dan konsep Fikrah
Nahdhiyah ini pertama kali dianjurkan oleh K.H. Achmad Siddiq pada 1969
yang selanjutnya menjadi embrio gerakan Khittah pada tahun 1984. Gagasan
kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk
menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan
kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta
merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan
kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Referensi : Fiqh - Al Ikhtilaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar