Pembahasan
tentang bermadzhab dalam pandangan NU dan Muhammadiyah agaknya perlu untuk
dipertegas. Hal ini penting mengingat pandangan tentang madzhab akan sangat
memperngaruhi pengistimbatan hukum yang dilakukan oleh dua ormas tersebut.
Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa NU yang mengaku berhaluan ahlus
sunnah wal jamaah dalam bidang fiqih terang-terangan bermadzhab Imam
Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali. Apabila dalam suatu
masalah tidak ditemukan jawaban dari empat madzhab tersebut maka baru dilakukan
ijtihad.
Di sisi
lain, Muhammadiyah bersikap untuk tidak bermadzhab. Muhammadiyah menyatakan
padangannya bahwa pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih yang berbunyi ―Tidak
mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa Al qur'an dan As sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
Dari
sana dapat dipahami bahwa Muhammadiyah memang tidak terikat kepada salah satu
di antara madzhab-madzhab tertentu, akan tetapi juga bukan berarti Muhammadiyah
anti dengan madzhab, kita tidak meragukan kualitas keilmuan para Imam-Imam
madzhab.
Namun,
bagaimanapun juga pendapat-pendapat para imam tidaklah memiliki kebenaran
secara mutlak sebagaimana kebenaran al-Qur‘an dan asSunnah ash-Shahihah.
Muhammadiyah berpendapat bahwa pendapat para Imam tersebut sangat erat
kaitannya dengan kondisi pada masa mereka hidup, yang tentunya akan terdapat
perbedaan dan juga akan ada hal-hal yang kurang relevan lagi dengan masa kita
sekarang. Menurut Muhammadiyah apa yang menjadi pandangannya, yakni
melaksanakan agama dengan bersumber langsung pada al-Qur‘an dan as-Sunnah telah
sesuai dengan sabda Rasulullah saw. Sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan
dari Anas bin Malik,
“Aku
telah meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, tidak akan tersesat kamu
selama berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah RasulNya”.
Dan
juga, apa yang dikatakan oleh salah satu Imam madzhab, yaitu Imam Ahmad Bin
Hanbal: “Janganlah engkau taqlid kepadaku, demikian juga kepada Imam Malik,
Imam Syafi‟i, Imam Auza‟i dan Imam ats-Tsauri.
Namun, ambillah (ikutilah) dari mana mereka (para Imam itu) mengambil (yaitu
Al-Qur‟an dan As-Sunnah)”.
Singkatnya,
demikian di tulis dalam Tanya jawab masalah Agama di Majalah Suara
Muhammadiyah, tidak mengikuti pada madzhab-madzhab tertentu bukan berarti tidak
menghormati pendapat para Imam fuqaha, namun hal ini justru langkah untuk
menghormati mereka karena mengikuti metode dan jalan hidup mereka serta
melaksanakan pesan-pesan mereka agar tidak bertaqlid. Jadi, sebenarnya hal
penting yang perlu diikuti adalah menggali pandapat itu dari sumber pengambilan
mereka yaitu Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang shahih yang tidak
diragukan lagi kebenarannya.
Inilah
perspektif, pandangan, atau pendapat. Perbedaan sangat niscaya. Jika
Muhammadiyah berpendapat bahwa tidak mengikuti madzhab merupakan usaha untuk
menghormati imam Fuqoha, maka NU berpandangan lain. NU tidak menganggap bahwa
bermadzhab bisa diartikan dengan sepenuhya taklid.
Pengertian
taklid, menurut ormas tradisionalis ini, hendaknya jangan digambarkan seperti
kerbau yang dicocok hidungnya, taklid buta, atau membuta tuli tanpa ada
kesempatan menggunakan akal pikiran, tanpa boleh mempelajari dalil al-Quran dan
al-Hadits. Pada taraf permulaan memang demikian. Setiap pelajaran yang
diberikan oleh ulama, Kiai, serta guru hendaknya diterima dan diikuti.
Selanjutnya setiap muslim didorong dan dianjurkan untuk mempelajari dalil dan
dasar pelajaran tersebut dari al-Quran dan al-Hadits.
NU
berpandangan bahwa bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh, tetapi
merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling
terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi'i. Jadi,
menurut NU, bermadzahab juga ada tingkatan-tingkatannya. Makin tinggi kemampuan
seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar
keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.
NU juga
sering mendasarkan pandangannya dengan dasar ittiba', yaitu mengikuti
hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya. Beberapa hal
yang dapat dikemukakan tentang ittiba' antara lain:
1. Usaha untuk menjadikan setiap muslim dapat melakukan ittiba'
adalah sangat baik, wajib didorong dan dibantu sekuat tenaga. Namun mewajibkan ittiba'
atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti dan mengetahui
dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak akan tercapai.
Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya dianggap berdosa.
Jika demikian, berapa banyak orang yang dianggap berdosa karena tidak mampu
melakukan ittiba'?
2. Sebenarnya ittiba' adalah salah satu tingkat
bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi
perbedaan istilah, bahwa ittiba' tidak diwajibkan, melainkan sekedar
anjuran dan didorong sekuat tenaga.
Meski
NU banyak mendasarkan pandangan fiqihnya pada madzhab empat, tetapi NU
juga tidak menutup pintu ijtihad. Ijtihad di sini diartikan dengan usaha keras
untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal berdasar dari al-Quran dan atau
hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang sharih, jelas,
tegas, atau qath'i, pasti. Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan oleh
agama Islam untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak ada nash sharih dan qath'i
dalam al-Quran dan atau hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang
paling terkenal adalah cara qiyas atau analogi dan ijma' atau
kesepakatan para mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum
itulah yang disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan.
Hasil
ijtihad atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh orang
lain. Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri yang
menerima dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid
tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan yang bermadzhab adalah
konsumen.
Ijtihad
tidak boleh dilakukan sembarangan. Prinsip ahlus sunnah wal jamaah
ini menegaskan bahwa ijtihad atau penggunaan ra'yu dalam menyimpulkan
hukum agama harus disertai persyaratan yang ketat agar hasilnya tidak menyalahi
assunnah wal jamaah. Persyaratan ijtihad cukup banyak, tetapi pada
pokoknya adalah:
1.
Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan al-Hadits dan
segala kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain.
2. Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda
kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Semuanya dilakukan atas dasar akhlak atau mental yaitu
keikhlasan mengabdi kepada Allah dalam mencari kebenaran, bukan sekedar
mencaricari argumentasi untuk membenar-benarkan kecenderungan selera dan nafsu
atau kepentingan lain.
NU
memandang akan sangat sulit dan sedikit orang yang mampu melakukan ijtihad.
Padahal semua orang Islam sudah harus melakukan perintah dan menjauhi larangan
Allah, meskipun belum mampu berijtihad. Karena itu, NU sebenarnya tidak memaksa
kaumnya untuk bertaklid / bermadzhab
tetapi memberi dua alternatif:
1.
Berijtihad sendiri, yang dapat dilakukan oleh mereka yang
memenuhi persyaratan.
2. Menerima dan mengikuti hasil ijtihad atau bermadzhab atau
bertaklid, yang dapat dilakukan oleh semua orang. Kenyataan memang menunjukkan
bahwa hampir semua orang Islam melakukan taklid, setidak-tidaknya pada waktu
permulaan yang cukup panjang, bahkan seumur hidup karena tidak pernah mencapai
kemampuan untuk berijtihad sendiri.
Kiai
Nuril Huda, seorang tokoh NU, penah menulis, bagi orang awam taqlid atau
mengikuti ulama mujtahid yang telah memahami agama secara mendalam hukumnya
wajib, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk
mempelajari agama secara mendalam. Allah SWT berfirman :
Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin
itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya. (QS : At Taubah : 122)
Dalam
ayat ini jelas Allah SWT menyuruh kita untuk mengikuti orang yang telah
memperdalam agama. Dalam ayat lain secara lebih tegas Allah SWT berfirman:
Artinya : Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (QS : An Nahl : 43)
Lalu
kepada siapakah kita bertaqlid? Kita bertaqlid kepada salah satu dari madzhab
empat yang telah dimaklumi oleh seluruh Ahli Ilmu, tentang keahlian dan
kemampuan mereka dalam Ilmu Fiqih.
Di
samping itu telah dimaklumi pula ketinggian akhlaq dan taqwa mereka yang tidak
akan menyesatkan umat. Mereka adalah orang yang takut kepada Allah SWT dan
telah meletakkan hukum bersumber dari Al-Qur‘an, As-Sunnah, Al-Ijma‘ dan
Al-Qiyas. Namun, ketika kita boleh bertaqlid, bukan kemudian kita bertaqlid
kepada sembarang orang yang belum mutawatir kemasyhurannya. Tentu taqlid semcam
itu justru akan membawa kesesatan. Kita bertaqlid kepada ulama yang telah
diakui umat, baik akhlaq dan sikapnya sehari-hari, di mana fatwa mereka
diyakini berasal dari Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman dalam
Al-Qur‘an :
Artinya : Dan demikian (pula) di antara
manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS : Fathir : 28)
Menurut pandangan NU, bermadzhab adalah upaya untuk menempuh
jalan yang lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa
konsekuensi ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta
dibenarkan berdasar al-Quran dan al-Hadits. Sedangkan taqlid buta, atau taqlid
kepada sembarang orang tentu dilarang oleh agama. Bagi mereka yang ada
kesempatan dan kemampuan tentu wajib mengetahui seluk beluk dalil yang
dipergunakan oleh para fuqaha'. Namun, untuk mencapai derajat mujtahid
barangkali sulit, walaupun kemungkinan itu selalu ada.
Referensi : Fiqh Ikhtilaf